Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Wednesday, December 31, 2008

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF

Posted by Ekonomi Islam

Dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. disebutkan sebagai bersabda bahwa masa kenabian (nubuwwah) dan rahmat akan disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat nubuwwah) dan rahmat, sesudah itu masa kerajaan (mulk) dan rahmat, kemudian masa kerajaan (saja).1 Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa Nabi sendiri. Sedangkan masa "kekhalifahan kenabian dan rahmat" berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah wafat Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakr, disusul Umar ibn al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan, dan akhirnya 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka adalah para pengganti (khalifah) Nabi yang kelak dikenal sebagai para khalifah yang berpetunjuk (al-khulafa al-rasyidun). Sedangkan masa para khalifah yang empat itu adalah masa "kerajaan dan rahmat."

Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn Taymiyyah, yang terbaik ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja tidak ada yang menjalankan kekuasaan sebaik Mu'awiyah. Dialah sebaik-baik raja Islam, dan tindakannya lebih baik daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2

Pandangan Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa pun yang terjadi pada Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai tidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena dia adalah seorang Sahabat Nabi. Lebih jauh, Ibn Taymiyyah masih mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah, yaitu "Raja" Yazid (yang oleh kaum Syi'ah dituding sebagai paling bertanggungjawab atas pembunuhan amat keji terhadap al-Husayn, cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid adalah komandan tentara Islam yang pertama memerangi dan mencoba merebut Konstantinopel, sementara sebuah hadits menyebutkan adanya sabda Nabi: "Tentara pertama yang menyerbu Konstantinopel diampuni (oleh Allah akan segala dosanya)."3

Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan yang ada pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat bahwa Mu'awiyah tanpa mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah orang yang pertama bertanggung-jawab merubah sistem kekhalifahan yang terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi Islam me]alui pemilihan) menjadi sistem kekhalifahan yang tertutup (pengangkatan pemimpin melalui penunjukan atau wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut sistem kerajaan seperti dimaksudkan dalam hadits, tetapi Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula para penguasa 'Abbasiyah, menyebut diri mereka masing-masing Khalifah (dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu sistem yang adil telah diganti dengan sistem yang kurang adil, jika bukannya yang zalim.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama tidak hanya ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Penyebutan para pengganti Nabi yang pertama itu sebagai "berpetunjuk" (al-rasyidun) adalah terutama berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4

Dalam pandangan banyak orang Muslim, pemerintahan masa kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan dan rasa keagamaan yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan itu sendiri saja. Kalaupun tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk Mu'awiyah itu telah dikutip dari Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa itu jelas dianggap berlaku untuk keseluruhan rezim Bani Umayyah, khususnya sejak kekuasaan Marwan ibn al-Hakam (60-62 H/644-655 M). Apalagi Marwan ini pernah menjabat sebagai pembantu utama Khalifah Utsman ibn 'Affan (22-35 H/644-656 M), dan diduga keras berada dibalik beberapa kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah Islam itu. Karenanya, sejak saat itu tumbuh oposisi keagamaan kepada rezim Damaskus, tidak saja oleh musuh tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi'ah dan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah, yang kaum Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.

Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri, wafat 728 M). Pada masa kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan (memerintah 685-705 M), Hasan pernah menulis surat kepada Khalifah, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu bernada menggugat praktek-praktek zalim penguasa Umawi. Namun Hasan dibiarkan bebas oleh pemerintah, disebabkan wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya yang amat besar kepada masyarakat luas.

TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI

Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan rasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam melaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakan seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.

Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah "pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah" (yang makna asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah'' itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan katakata "sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.

Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab: fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalah nilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.

Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum (betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karena mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah. Dengan kata-kata lain, orientasi fiqh dan syari'ah lebih berat mengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.

Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius."

Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha, yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagi bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan da]am masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politis umat hanya secara minimal saja.

TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH

Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada masalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai paham keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.

Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:

"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika

melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat

(melulu), akan memandang mereka ini tidak ada

apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali

sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam

tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta

kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak

dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup

sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah

dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang

yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu

terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak

memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6

Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,

"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab

dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan

apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada

kedua belah pihak adalah batil."7

Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:

"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada

kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian

itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi

utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik

umat dan para imam kebenaran pada umat itu.

Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk

Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak

memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang

dianggap orang mampu melembutkan hati dan

membersihkannya."8

Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin) dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?

TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI

Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasul yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, bukti untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang bersifat sosial-politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilan ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. sama dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s. adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet), sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosiologi terkenal, Max Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan reformasi sosial, dengan program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain. Dalam pandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa disamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para rasul dari kalangan anak turun Nabi Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).

Bahwa Nabi Muhammad s.a.w membawa reformasi sosial yang monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia (ishlah al-ardl). Tetapi di berbagai tempat dalam al-Qur an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh para nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telah melaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satu pengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan oleh Michael H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:

"Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam

urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di

dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin

jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya

berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad

satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih

sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama

maupun ruang lingkup duniawi."10

Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Seperti dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya itu."11

Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian batin.

Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah. Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri, terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu. Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh dikalangan para sahabat.

Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj) yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:

Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala. Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12

Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi'raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia "bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia." Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana ) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya, melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.13

MASALAH KEABSAHAN TASAWUF

Membicarakan keabsahan Tasawuf dapat mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasi yang serius, karena menyangkut masalah sampai dimana kita bisa dan berhak menilai pengalaman keruhanian seseorang. Telah disinggung bahwa mistisisme atau pengalaman mistis, tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi, selalu mengarah kedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain, lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, dengan penuh pengertian, jika tidak malah kekaguman. Berbagai cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti banyak terdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini.

Karena itu, bagi mereka yang lebih melihat diri mereka sebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan yang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau bahkan tarikan syetan yang sesat.

Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialah yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yang mengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdat al-wujud). Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum, seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, penganut dan pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah Ibn 'Arabi. Dalam bukunya, Fushush al-Hikam, Ibn 'Arabi berdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan Tuhan:

Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,

dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.

Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan

dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.

Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya

lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya

Maka mana mungkin Ia tiada perlu,

padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?

Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,

sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya

Begitulah, sabda telah datang kepada kita,

dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14

Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthb al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama Syari'ah sebagai yang paling bertanggungjawab atas penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yang terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi para pengikutnya dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).

Kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karya Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnya sering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang (ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadits Nabi.

Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil mereka sebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu. Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidak memahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriah tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaum Syari'ah. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka sebagai sesat, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah terhadap Ibn Arabi.

Tapi, dalam semangat empatik, mungkin justru pengalaman mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak terkomunikasikan, pengalaman mistis kaum Sufi pun sesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untuk menggambarkannya. Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untuk bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanya harus mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan yang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidak mungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak pernah mencicipinya sendiri.

Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an" yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an la ilaha illa Llah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.

Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanya sekali terjadi dalam hidup seorang, tanpa bisa diulangi. Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat al-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebih baik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satu momen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yang dibawa seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan atau delapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalaman mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatu euphoria yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu diri" (ma'rifat al-nafs)15 yang tidak lebih daripada seorang makhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat (islam) kepada Sang Maha Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi, karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas dari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena ia merasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui di mana saja melalui ibadat dan dzikir. Ia menghayati kehadiran Tuhan dalam hidupnya melalui apresiasi akan nama-nama (kualitas-kualitas) Tuhan yang indah (al-asma al-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhan dan keseimbangan dirinya

Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaqlah kamu semua dengan akhlaq Allah."

Catatan kaki:

-------------

1 Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya, Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun), jilid IV, h. 121.

2 Ibid

3 Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kita shahihnya, dari Abdullah ibn Umar, dikutip dan dijabarkan oleh Ibn Taymiyyah. (Ibid., jilid II, h. 329).

4 Pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orang Muslim ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal, Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian -sebagaimana dalam kesempatan lain telah dikemukakan- bahwa Islam mengajarkan sistem politik yang terbuka dan "moderen." Tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Maka Bellah dapat memahami mengapa orang-orang Muslim moderen, dalam mencari acuan untuk cita-cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief [New York: Harper & Row, 1976], hh. 150-51).

5 Q., s. al-Baqarah/2:13.

6 Ibn Taymiyyah, Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 10.

7 Ibid.

8 Ibid.

9 Lihat, a.l., Q., s. al-A'raf/7:56 dan 85.

10 Michael H. Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, terjemah Indonesia oleh H. Mahbub Djunaidi, "Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 27.

11 Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li Man Baddala Din al-Masih, 4 jilid, (Beirut [?]: Mathabi' al-Majd al-Tijariyyah, tanpa tahun), jilid 3, h. 240.

12 Q., s. al-Najm/53:1-18.

13 Salah satu buku Muhy al-Din ibn Arabi berjudul, dalam bahasa Arab, Risalat al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwah min al-Asrar (Risalah Cahaya tentang Berbagai Rahasia yang dikaruniakan kepada orang yang melakukan pengunduran diri (khalwah), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Rabia Terri Harris, Journey to the Lord of Power (New York: Inner Traditions International, 1981).

14 Muhy al-Din ibn Arabi, Fushush al-Hikam, h. 83. Cf terjemahan Inggris oleh R.W.J. Austin, The Bezels of Wisdom (New York: Paulist Press, 1980), h. 95.

15 Karena itu di kalangan kaum Sufi terkenal ungkapan dalam bahasa Arab, "Man arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu" (Barangsiapa tahu dirinya maka ia akan tahu Tuhannya). Karena pengetahuan tentang diri secara proporsional adalah indikasi pengetahuan akan Kebenaran Yang Bulat.

Dialog dengan Tuhan

Posted by Ekonomi Islam

Di zaman ini, mungkinkah kita masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan?
Bukankah Nabi terakhir telah lama wafat, dan kitab suci terakhir telah
diturunkan lima belas abad yang lampau serta Tuhan telah menyatakan
sempurnanya agama kita. Masihkah terjadi dialog antara hamba dengan Tuhan?
 
Neale Donald Walsch percaya akan hal itu. Walsch mengaku masih bisa
berdialog dengan Tuhan. Ia kemudian menuliskan hasil dialog dengan Tuhan
itu dalam bukunya "Conversations with God: an uncommon dialogue", sebuah
buku yang telah berulang kali dicetak ulang.
 
"Aku tidak berkomunikasi semata dengan kata. Bentuk komunikasi yang Kupilih
lebih melalui "perasaan" (feeling). Perasaan adalah bahasa jiwa. Jika kamu
ingin tahu apa yang benar tentang sesuatu, lihatlah bagaimana perasaanmu
terhadap sesuatu itu.
 
Aku juga berkomunikasi lewat "pikiran" (thought). Pikiran dan perasaan
tidaklah sama, meskipun keduanya dapat berlangsung pada saat yang sama.
Dalam komunikasi lewat pikiran, Aku menggunakan media imajinasi dan
gambaran. Karenanya, pikiran lebih efektif daripada menggunakan "kata"
sebagai alat komunikasi. 
 
Sebagai tambahan, Aku juga menggunakan kendaraan "pengalaman" sebagai media
komunikasi. Dan akhirnya, ketika perasaan, pikiran dan pengalaman semuanya
gagal, Aku menggunakan "kata-kata". Kata-kata adalah media komunikasi yang
paling tidak efektif. Kata-kata lebih sering dikelirutafsirkan dan
disalahpahami. Dan mengapa itu terjadi? Karena demikianlah kata-kata itu.
Mereka hanya simbol dan tanda. Kata-kata bukanlah kebenaran; juga bukan
sesuatu yang hakiki." (Walsch:1997, h. 3-4)
 
Inilah "jawaban" Tuhan, ketika Walsch bertanya tentang cara Tuhan
berkomunikasi dengan kita. Anda boleh tak setuju dengan pengakuan Walsch.
Tak ada larangan kalau anda bersedia menggelari dia dengan "pendusta".
 
Tapi, buat saya, yang menarik adalah kutipan di atas. Bahkan seorang
non-Muslim seperti Walsch pun percaya bahwa Tuhan masih berkomunikasi
dengan kita. Sayang, terkadang kita lupa akan hal ini, bahwa Tuhan masih
berkomunikasi dengan hamba-Nya.
 
Ketika Walsch --atau "Tuhan"-- menyebutkan perasaan, pikiran, pengalaman
dan kata-kata sebagai bentuk komunikasi dari Tuhan, saya teringat, Syaikh
Terbesar, Ibn Arabi yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan bentuk
tajalli dari Allah. Karena itu kemana saja kita arahkan pandangan mata
kita, sebenarnya kita menangkap "tanda" Tuhan di sana.
 
Sayang, kita suka enggan berkomunikasi dengan Tuhan. Shalat pun menjadi
berat. Beban kerja yang menumpuk menjadi alasan. Saat kita menzalimi
saudara kita, kita sering lupa bahwa saudara kita masih bisa berkomunikasi
dengan Tuhan dan mengadukan kelakuan kita. Ketika duka datang menerpa kita,
kita lebih percaya untuk berkomunikasi dengan "orang pintar" dibanding kita
adukan derita kita langsung kepada Tuhan. Alih-alih melihat "tanda" dari
Tuhan, hambatan ekonomis malah menjadi pembenar ketika kita menerima uang
yang bukan hak kita.
 
Anda boleh tak setuju bahwa buku Walsch merupakan hasil komunikasinya
dengan Tuhan. Anda boleh tak setuju ketika Ibn Arabi mengaku "didiktekan"
Malaikat ketika menulis Futuhat al-Makkiyah, namun tak ada salahnya saya
mengutip lagi isi buku Walsch, ketika "Tuhan" berkata:
 
"Aku bicara kepada setiap orang. Pada setiap waktu. Masalahnya bukan kepada
siapa Aku bicara, tetapi siapa yang mau mendengarkan?"
 
Armidale, 10 Februari 1998
Nadirsyah Hosen

Dialog, Bukan Konfrontasi

Posted by Ekonomi Islam

Banyak hal perlu disesalkan setelah tragedi 11 September lalu. Yang pertama adalah bangkitnya kembali "naluri" lama yang meresap dalam bawah sadar orang-orang Barat umumnya, yaitu adanya semacam prasangka buruk terhadap dunia Islam. Seperti ditulis Edward Said, seorang Kristen Palestina yang kini tinggal di New York, dalam bukunya yang sudah klasik, Covering Islam , bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat "mengumumkan" ( generalizing ) Islam dan orang Islam tanpa melihat nuansa-nuansa yang lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.

Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul ke permukaan. Prasangka itu ibarat sebuah virus yang kadang tidur, tapi tak pernah benar-benar mati. Setiap peristiwa tragis terjadi di dunia Islam, atau di dunia Barat yang ada sangkut pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan muncul kembali. Seorang anggota National Security Council, Peter Rodman, menulis di National Review pada 11 Mei 1992, " Yet now the West finds itself challenged from the outside by a militant, atavistic force driven by hatred of all Western political thought, harking back to age-old grievances against Christendom ."

Tulisan dengan nada hampir serupa tiba-tiba muncul di The New York Times pada 16 September 2001, " The airborne assault on the World Trade Center and the Pentagon is the culmination of a decade-long holy war against the United States that is escalating methodically in ambition, planning and execution ." Kata Christendom dan holy war digunakan dalam dua tulisan itu seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi "perang suci" antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama dunia Islam. Tentu harus diberi catatan di sini, kata crusade atau holy war kerap digunakan oleh para penulis Barat dalam pengertiannya yang umum tanpa ada muatan keagamaan di dalamnya.

Ketika kontroversi soal aborsi pecah di Amerika beberapa tahun silam, misalnya, tak jarang orang-orang yang proaborsi digambarkan sebagai pihak yang melakukan crusade atau perang salib melawan kehidupan sang janin. Judul buku Charles A. Scontras tentang penggunaan anak-anak sebagai buruh adalah contoh menarik, In the Name of Humanity: Maine's Crusade Against Child Labor . Tentu kata crusade di situ tak ada sangkut pautnya dengan perang salib abad pertengahan antara orang-rang Islam dan Kristen.

Hal yang sama juga terjadi pada pihak Islam. Begitu rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) menyerang Afganistan diumumkan oleh Presiden Bush, reaksi yang muncul dari kalangan (sebagian) umat Islam adalah seruan "jihad" melawan AS. Bahkan dalam kadar yang lebih buruk, ada kelompok-kelompok yang ingin "menyisir" orang-orang asing, terutama warga AS, di Indonesia. Beberapa kelompok Islam menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi suatu konfrontasi total antara dunia Islam dan dunia Barat alias Kristen. Teori (?) "benturan peradaban" Samuel Huntington tiba-tiba dikutip di mana-mana.

Padahal, kesan semacam itu jelas tak benar. Usaha untuk membangun jembatan dialog antarperadaban bukan berarti tidak ada. Bahkan "dialog antarperadaban"-lah yang lebih sering terjadi ketimbang "benturan peradaban". Tak terhitung jumlah para pelajar dari dunia muslim yang pergi setiap tahun ke negeri-negeri Barat (Eropa, Amerika, atau Australia) untuk menimba ilmu-ilmu "sekuler" di sana.

Harus diakui juga, banyak di antara orang-orang yang begitu keras melakukan "serangan" atas Barat, adalah didikan universitas-universitas di negeri-negeri itu. Pun tak terhitung jumlah para sarjana Barat yang setiap tahun melakukan perjalanan "intelektual" ke negeri-negeri Islam. Usaha untuk menampilkan Islam dalam pelbagai wajah dan seginya juga dilakukan oleh para sarjana, wartawan, dan kalangan lain.

Ingatlah upaya Presiden Iran Ali Khamenei untuk mengampanyekan dialog antarperadaban sebagai suatu usaha membuktikan bahwa "benturan" bukanlah jalan satu-satunya yang mungkin. Lepas dari sejumlah prasangka buruk yang masih mengendap dalam bawah sadar media Barat terhadap dunia Islam, seperti dengan bagus diulas Edward W. Said, tapi tak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah "niat baik" sarjana Barat untuk memahami dunia Islam dengan cukup baik. History of God , karya seorang mantan biarawati, Karen Armstrong, yang menjadi bacaan laris di negeri-negeri Barat, adalah salah satu contoh.

Buku-buku populer karya antropolog Amerika Elisabeth Warnock Fernea adalah contoh lain. Fernea telah menulis buku cukup laris mengenai masyarakat Irak, Guest of the Sheik . Dia juga menulis dua buku lain yang cukup enak dinikmati oleh pembaca awam, Street in Marrakech dan In Search of Islamic Feminism . Bersama suaminya yang juga antropolog, Robert A. Fernea, dia menulis sebuah kesaksian tentang hidup "dalam" masyarakat Islam di Timur Tengah, The Arab World: Personal Encounters .

Nama sangat dikenal tapi juga sering disalahpahami di dunia Islam adalah John L. Esposito yang menulis empat jilid The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , sebuah buku sumber cukup penting bagi sarjana muslim atau Barat umumnya. Bersama sejumlah intelektual lain di Georgetown University, Esposito mendirikan sebuah pusat pengembangan "saling pengertian" antara Islam dan Kristen, yakni Center for Muslim-Christian Understanding. Di tempat ini ada John O. Voll, Yvonne Yazbeck Haddad, dan seorang cendekiawan negeri jiran Malaysia, Osman Bakar.

Georgetown University adalah perguruan tinggi yang didirikan oleh gereja Katolik di Washington, DC. Pendirian suatu pusat saling pengertian antara Islam dan Kristen di perguruan tinggi milik gereja Katolik adalah contoh yang menarik. Ini memperlihatkan bahwa dialog antara kedua agama itu adalah hal yang mungkin, bahkan "sudah semestinya". Yang menarik, sejak musim semi 1999, Georgetown University telah mengangkat seorang chaplain penuh untuk mahasiswa muslim di universitas tersebut. Chaplain adalah kedudukan yang menyerupai seorang imam. Posisi ini dijabat oleh seorang ulama asal Yordania, Imam Yahya Hendi.

Tentu bukan berarti tak ada masalah dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS sendiri terhadap dunia Islam. Paradoks yang sering mengganggu akal sehat orang banyak adalah kampanye besar-besaran AS untuk menyebarkan ide tentang demokrasi dan hak asasi, tapi memberikan dukungan yang sepertinya tanpa cadangan terhadap Kerajaan Arab Saudi yang banyak melakukan pelanggaran hak-hak sipil di dalam negeri.

Kebijakan AS menyangkut Palestina yang dianggap berat sebelah dan diskriminatif terhadap warga Palestina jelas menjadi asal muasal kejengkelan dan kebencian terhadap pemerintah AS di kawasan Arab. Namun, mencampuradukkan antara pemerintah AS dan warga negaranya adalah tindakan yang ceroboh. Tidak semua warga AS setuju pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahnya, sehingga amat tidak masuk akal tindakan "penyisiran" terhadap warga AS di Indonesia. Penyisiran semacam itu mengandaikan ada kesebangunan antara pendapat pemerintah dan warganya, padahal dalam kenyataannya sama sekali tidak.

Maka, keadaan seolah-olah jalan dialog antarperadaban adalah suatu hal yang sulit ditempuh juga patut disesalkan. Seolah-olah timbul kesan, antara dunia "Barat" dan "Islam" terdapat jurang menganga yang susah untuk dijembatani. Mereka yang percaya bahwa dunia terbentuk oleh dua blok besar yang saling bermusuhan, blok "kebaikan" dan blok "kejahatan", sangat diuntungkan oleh keadaan semacam ini. Pandangan yang hitam-putih menjadi mudah dipeluk, sebab inilah yang paling sederhana untuk dicerap oleh pikiran yang tidak kritis.

Yang kerap dilupakan banyak orang adalah bahwa apa yang disebut sebagai "Barat" dan "Islam" tak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Barat? Barat dari sebelah mana? Dalam pengertian populer, Barat acap diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Jelas, ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua itu. Barat juga sering disamakan dengan Amerika (Serikat).

Seperti kita tahu, Amerika adalah negeri kontinental yang terdiri dari berbagai negara bagian, dengan masyarakat yang beragam pandangan-pandangannya. Kecenderungan yang menonjol dalam masyarakat Amerika adalah adanya semangat "antinegara" yang begitu kuat, karena warisan sejarah di negeri Eropa di mana negara adalah identik dengan kekuasaan imperial yang menindas dan disokong oleh gereja (Katolik).

Etos "antinegara" inilah yang menjelaskan kuatnya semangat federalisme di negeri itu, dan kejengkelan pada segala hal yang "memusat". Itulah sebabnya, negeri Amerika yang begitu "imperial" sebetulnya tidak disertai dengan kesadaran warga negaranya yang "imperial". Orang-orang Amerika, dalam kesan saya, sangat cuek pada hal-hal yang menyangkut kebijakan luar negeri pemerintahnya.

Jadi, jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Barat sebagai sesuatu yang jelas dan tunggal; jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Amerika sebagai identik dengan pemerintahnya; jelas tidak tepat mengandaikan masyarakat Amerika sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya.

Hal yang sama juga terjadi pada Islam. Apa yang sering diteriakkan sebagai "Islam" dengan tanda pentung besar sebetulnya tidaklah sejelas yang dikira banyak orang. Sebab, pada akhirnya, pengertian mengenai Islam adalah pengertian kemasyarakatan. Maksudnya, Islam toh wujudnya adalah orang-orang yang hidup dalam sejarah yang konkret. Pada tataran itu, Islam sebetulnya tidak berwajah satu dan seragam.

Dilihat dari segi mana pun, mustahil mengatakan konfrontasi antara "Barat" dan "Islam". Islam yang mana? Kita tahu, pandangan-pandangan umat Islam mengenai tragedi WTC dan Pentagon sangatlah beragam. Jika kita mengandaikan bahwa dengan tragedi itu dunia Islam telah "mengobarkan jihad" versus Amerika, seperti kerap kali diucapkan oleh para juru khotbah, Islam mana yang dimaksudkan di sana?

Kesalahpahaman lain adalah mengucapkan dalam satu tarikan napas "Rakyat Afganistan-Pemerintah Taliban-Negara Afganistan-Islam". Karena mayoritas masyarakat Afgan adalah muslim, dan diperintah oleh pemerintahan Taliban yang "seolah-olah" secara lahiriah menegakkan syariat Islam, maka serangan AS terhadap Afganistan adalah serangan terhadap Islam. Rencana AS menyerang Afganistan jelas tindakan yang harus ditentang. Tapi menyamakan serangan itu seolah-olah sebagai serangan atas Islam, jelas tindakan yang ceroboh.

Simpati yang mendalam patut diberikan kepada rakyat Afganistan yang telah menderita karena konflik-konflik internal menjelang invasi Uni Soviet ke negeri itu pada 1979. Karena invasi itu sendiri, karena perang saudara yang terus berkobar setelah invasi itu berakhir, juga karena kebijakan represif pemerintahan Taliban yang memberangus hak-hak sipil warganya. Kebijakan pemerintahan Taliban yang berakibat tragis buat kaum perempuan di negeri itu jelas sesuatu yang tak bisa dikatakan "Islami". Yang hendak mengetahui secara persis bagaimana "jahatnya" pemerintahan Taliban terhadap kaum perempuan, bisa menengok situs www.rawa.org .

Amat disesalkan jika para penguasa Taliban, yang karena berjubah dan berjenggot itu, serta merta dianggap dari "luar" Afganistan sebagai wakil dari dunia Islam, sementara perlakuan pemerintahan itu terhadap warganya sangat berlawanan dengan nilai-nilai profetis Islam sendiri.

Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh kini. Jalan konfrontasi hanya akan menguntungkan orang-orang yang berpandangan dualistis mengenai kehidupan ini: "Islam" dan "kafir", baik dan jahat, dan seterusnya. Jalan ini hanya akan menguntungkan orang-orang berpandangan konservatif dan ekstrem dalam agama mana pun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elite agama mana pun yang hendak memanipulasi ignoransi umatnya untuk kepentingan yang sempit dan cupet.

Definisi dan Urgensi Mantiq

Posted by Ekonomi Islam

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir

Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.

Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.

Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak

Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.

Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz'I

Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar.

Misalnya : gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.

Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya.

Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.

Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.

Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.

Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.

Hudud dan Ta'rifat

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.

Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.

Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.

Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".

Qadhiyyah (Proposisi)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah.

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:

Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan

Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.

Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar

Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.

Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah

Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).

Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).

Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).

Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula

Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali).

Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar. Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

Kesamaan tempat (makan)

Kesamaan waktu (zaman)

Kesamaan kondisi (syart)

Kesamaan korelasi (idhafah)

Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )

Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li).

Qiyas (silogisme)

Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).

Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).

Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

Macam-macam Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan.

Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.

Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

Muqaddimah shugra harus mujabah.

Muqaddimah kubra harus kulliyah.

2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".

Syarat-syarat syakl kedua.

Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).

Muqaddimah kubra harus kulliyyah.

3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.

Muqaddimah sughra harus mujabah.

Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.

4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.

Kedua muqaddimahnya harus mujabah.

Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau

Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)

Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.

Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
2. Qiyas Istitsna'I

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".

Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober - 1 November 1999 M)